SuaraPemalang.com [BREBES] — Derasnya hujan yang mengguyur wilayah Bumiayu pada Jumat (8/11/2025) malam berubah menjadi bencana memilukan. Air bah datang tanpa ampun, menelan tiga korban jiwa, merusak belasan rumah, lahan pertanian, serta fasilitas umum. Namun, di balik derasnya arus, tersimpan kenyataan yang lebih pahit: banjir kali ini bukan semata murka alam, melainkan akibat ulah manusia yang terlalu lama mengabaikan peringatan bumi.
Wilayah Bumiayu, bagian dari Brebes Selatan yang berada di kaki Gunung Slamet, sejatinya merupakan kawasan penyangga ekologis penting. Namun, kerusakan hutan, pembukaan lahan, serta lemahnya upaya konservasi menjadikan kawasan ini semakin rapuh. Lereng gunung yang dahulu hijau kini berubah menjadi bentangan ladang kentang dan sayuran tanpa pengendalian tata air. Hilangnya vegetasi berarti lenyap pula daya serap air, membuat setiap curah hujan ekstrem menjelma menjadi ancaman.
“Apa yang terjadi di Bumiayu adalah manifestasi dari degradasi ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun,” ujar Aristianto Zamzami, mahasiswa Pascasarjana UMMUS Brebes sekaligus pemerhati masalah sosial kemasyarakatan yang menulis opini tajam berjudul Banjir!, Luka Alam yang Semakin Dalam.

Konservasi yang Hilang Arah
Dulu, konservasi di lereng Gunung Slamet sempat menjadi agenda penting. Bahkan, pernah muncul wacana pembentukan Taman Nasional Gunung Slamet (TNS) sebagai upaya perlindungan kawasan hutan lindung. Namun kini, gaung itu seakan meredup. Kepentingan ekonomi dan industri perlahan menggeser nilai ekologis, menjadikan hutan bukan lagi “jantung kehidupan”, melainkan sekadar lahan kosong yang siap dieksploitasi.
“Tidak cukup hanya menanam pohon seremonial atau membuat slogan hijau. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nyata, penegakan hukum, dan keberanian menempatkan ekologi di atas ekonomi jangka pendek,” tegas Aristianto.
Geothermal: Harapan atau Ancaman Baru?
Di tengah kondisi lingkungan yang kritis, muncul pula wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) di sekitar kawasan Gunung Slamet. Meski energi geothermal kerap dipromosikan sebagai energi hijau, proses eksplorasinya justru berpotensi menambah kerentanan alam. Pengeboran, pembukaan akses jalan, dan perubahan struktur tanah dikhawatirkan memperburuk daya dukung lingkungan.
“Pertanyaannya, apakah kita benar-benar membangun energi untuk masa depan, atau justru mempercepat kehancuran alam yang tersisa?” tulis Aristianto dalam catatannya.
Korban Jiwa, Alarm Keras dari Alam
Tiga nyawa yang melayang akibat banjir Bumiayu seharusnya menjadi alarm keras. Bukan sekadar angka statistik, melainkan cermin kegagalan sistemik — dari tata kelola lingkungan hingga pembangunan berkelanjutan yang tak berpihak pada keselamatan warga.
Aristianto menyerukan agar tragedi ini menjadi titik balik:
Melindungi kawasan hutan dari eksploitasi berlebihan,
Melakukan audit lingkungan atas proyek besar di sekitar Slamet,
Merestorasi lahan kritis secara terpadu, dan
Menguatkan mitigasi bencana berbasis komunitas.
Ia juga menegaskan pentingnya penetapan Taman Nasional Gunung Slamet sebagai prioritas kebijakan untuk mengembalikan keseimbangan ekologis yang hilang.
Refleksi dari Lereng Slamet
“Bumiayu hari ini adalah peringatan,” tulis Aristianto menutup refleksinya.
“Gunung Slamet telah memberi tanda. Sungguh sebuah kemunafikan bila kita berkata, ‘Kami sudah pernah mencoba,’ lalu merasa bebas dari tanggung jawab moral dunia dan akhirat.”
Air bah boleh surut, namun luka alam masih menganga. Jika tak ada langkah nyata, bukan tidak mungkin, jerit tangis Bumiayu akan kembali bergema — bersama tangisan Gunung Slamet yang semakin kehilangan hijau di dadanya.
Abi***













